Sabtu, 16 Februari 2013. 15.00 WIB, menuju
Parangtritis.
Kontras dengan
perjalanan menuju laut di jawa timur yang melewati jalan berkelok tanjakan naik
turun, menuju pantai selatan ini relatif landai, tapi tetap kanan kiri gubuk
dan sawah hijau menguning. Dalam perjalanan saya melihat hal menarik. Kala itu
hujan gerimis dan cukup dingin, seorang bapak tua duduk diatas tumpukan pasir
yang menggunung (benar-benar "menggunung") dalam bak truk bahkan
ketinggian dari gundukan pasir yang diangkut truk ini setinggi pandangan mata
kami yang berada di bis.
Biyuh, batinku
bersuara.
Welcome, strangers!
Don't wear too much Green (kepercayaannya, kamu bakal diambil sama Ratu
Selatan)
Rasakan sensasi naik
Bendi, dokar dengan kuda betina sebagai pengantar perjalanan laut kita. Debur
ombak, cipratan air dan suara tapal kuda menyentuh pasir menorehkan pengalaman
baru dalam kamus hidupku.
Parangtritis yang
penuh misteri ini adalah tempat dimana Sri Sultan Hamengku Buwono melakukan ritual
perjumpaan dengan Nyi Roro Kidul, sedang tak jauh dari Parangtritis ada
Parangkusumo, tempat Jupe laris diberitakan infotemen melakukan ritual kecantikannya or whatever!
"Parang niku
Karang, biyen ing karang niki warga dodolan banyu klopo digawe ngidupi
anak-bojo saking angel e urip" kata bapak Tukang Bendi. Dulu, sebelum
Parangtritis terkenal, betapa sulitnya hidup warga laut ini sampai-sampai sebuah
kelapa muda berharga me-makan-i sebuah keluarga.
Trenyuh..
Kami melewati
parangtritis lama, disebut lama karena dulu ketika gempa bumi 2008 melanda
Bantul dengan episentrum gempa di lautan parangtritis, menewaskan banyak
warganya dan mematikan kehidupan perekonomiannya. Pemerintah memutuskan
lokasinya dipindah ke parangtritis baru, beberapa km dari parangtritis lama.
Mungkin agar tidak mengingat kembali luka lama, tanpa melupakan sosok-sosok
yang dicintai yang terseret kemurkaan lautan.
Duka kembali
berlanjut dalam perjalanan ceria ini, kami bertemu nenek berusia kurang lebih
70 an yang nggeleyeh di sebelah sumur sembari menawarkan air untuk cuci kaki.
Anehnya lokasi sumur ini tepat di tengah jalan. Kami merasakan keanehan,
mengapa tidak ia membuka persewaan kamar mandi saja, daripada hanya dilewati
orang yang tak tertarik untuk hanya sekadar cuci kaki.
"Mbah, kenapa
kok berdiri disini?"
"iki dhisik
omahku, nduk. Aku digusur, kate mangan opo awakku yen ora bertahan koyo ngene..
Biyuh.. Biyuh sorone
urip "
Kami speechless
karena ternyata dulu jalan ini merupakan rumah si Mbah yang kemudian digusur
dan mbah hanya bertahan untuk menjual air dari sumur yang dimilikinya untuk
cuci kaki dan cuci muka wisatawan sehabis pantai."
Betapa trenyuhnya
kami, ada buanyaak kamar mandi yang ada, si Mbah mungkin tidak akan dapat
bertahan hanya dengan menjual jasa cuci muka dan kaki. Ketika kami mengerti
penderitaannya, kami segera "membeli jasanya", aku cuci kaki dan ayah
cuci muka.
Segelintir emosi
sedih diantara puluhan kebahagiaan yang aku rasakan di Jogja. Ya, setiap orang
punya nasib berbeda, si Mbah, Aku, Bapak Tukang Bendi, Oma Belanda yang
menikmati sore di Parangtritis, Jupe dan lainnya. Saya beruntung, Mbah..
"Syukuri
hidupmu dan mereka yang menopangmu, karena hidup memberikan biliaran rasa cinta lewat setiap kejadian yang
kita atau mereka alami"