Monday, 9 June 2014

Memberi Ruang bagi Ekonomi dan Politik

sekali lagi, esay tentang ekonomi politik

            Rakyat sedang menikmati dan  “melek” dengan demokrasi yang saat ini berlangsung di Indonesia. Apabila di beberapa tahun yang lampau, pemilih muda tidak terlalu antusias dengan siapa yang akan duduk di kursi pemerintahan , maka tahun 2014 menjadi tahun dimana semangat perubahan dan optimisme ada di tiap perbincangan dan diskusi anak-anak muda. Siapa yang tak kenal Jokowi? JK? Prabowo? Bahkan Hatta Rajasa dengan kasus yang menimpa anaknya?
            Senin (9/6) ini, untuk pertama kalinya dalam sejarah demokrasi Indonesia, KPU menggelar debat pasangan capres-cawapres dengan tema tentang pembangunan demokrasi, pemerintahan bersih, dan kepastian hukum. Di dalam debat tersebut, para calon presiden memaparkan visi dan misi yang disusun berdasarkan fundamen periode-periode rencana pembangunan jangka menengah sebelumnya. Hal ini penting untuk melihat seberapa jauh program-program yang ditawarkan itu benar-benar menjadi solusi menghadapi persoalan ke depan.
            Salah satu pembahasan yang menarik adalah tentang kondisi saat ini dimana hukum masih karut-marut dan belum bisa bersinergi dengan keadilan. Akibatnya, penegakan hukum yang dilakukan hanya akan menegakkan ketidakadilan. Kondisi itu diperburuk dengan mentalitas aparat penegakan hukum yang dinilai cenderung kurang bagus.
            Saya turut mengamati sebagian besar jalannya debat capres-cawapres antara Jokowi-JK dengan Prabowo-Hatta Rajasa. Sangat menarik dan cukup mendalam apa yang disampaikan kedua belah pihak. Sebagai pemilih muda, saya sangat tergugah dengan alur berpikir Jokowi. Dengan tegas,  beliau  mengatakan bahwa Bhineka Tunggal Ika sudah harga mati dan harus ditaati. Dengan prinsipnya, beliau  lugas menjelaskan bahwa setiap rencana-rencana yang disusun itu penting, tapi yang lebih terpenting adalah melaksanakannya. Beliau menambahkan bahwa Indonesia perlu memperkuat manajemen kontrol dan pengawasan.
            Bukan berati saya mengagung-agungkan sosok Jokowi, namun saya tersadar bahwa apa yang diungkapkan dan digagas Jokowi adalah sesuatu hal yang mungkin terjadi untuk membawa perubahan bangsa selama rakyat optimis untuk mengerjakan perubahan ini bersama dengan pemimpinnya.
            Dalam pertemuan-pertemuan mata kuliah ekonomi politik, saya mempelajari bahwa dalam teori pilihan publik, setiap aktor politik di sisi penawaran barang publik memiliki kepentingan atau motivasi-motivasi (untuk ketenaran, peningkatan kekayaan, prestige) untuk memaksimalkan utilitas. Masyarakat, di sisi permintaan barang publik mengharapkan kesejahteraan dan terpenuhinya kebutuhan akan barang publik. Dalam sistem demokrasi, proses voting (pemungutan suara) menjembatani sisi penawaran dan permintaan. Artinya bahwa pemilihan umum menjadi sarana penyediaan barang publik yang diminta oleh masyarakat. Namun kenyataannya, terkadang proses voting tidak bisa menjembatani sisi permintaan dan penawaran karena para birokrat memiliki kepentingan yang tidak sejalan dengan keinginan masyarakat. Oleh karena itu, dalam menghadapi pemilu 9 Juli nantinya, mari kita memberi ruang bagi ekonomi dan politik untuk bersatu, menyatukan tujuan untuk kesejahteraan orang banyak.

Referensi:

 “Kaji Dasar Visi dan Misi Capres”. Artikel, dimuat Kompas, 9 Juni 2014.





No comments:

Post a Comment