sekali lagi, esay tentang ekonomi politik
Rakyat
sedang menikmati dan “melek” dengan
demokrasi yang saat ini berlangsung di Indonesia. Apabila di beberapa tahun
yang lampau, pemilih muda tidak terlalu antusias dengan siapa yang akan duduk
di kursi pemerintahan , maka tahun 2014 menjadi tahun dimana semangat perubahan
dan optimisme ada di tiap perbincangan dan diskusi anak-anak muda. Siapa yang
tak kenal Jokowi? JK? Prabowo? Bahkan Hatta Rajasa dengan kasus yang menimpa
anaknya?
Senin
(9/6) ini, untuk pertama kalinya dalam sejarah demokrasi Indonesia, KPU
menggelar debat pasangan capres-cawapres dengan tema tentang pembangunan
demokrasi, pemerintahan bersih, dan kepastian hukum. Di dalam debat tersebut,
para calon presiden memaparkan visi dan misi yang disusun berdasarkan fundamen
periode-periode rencana pembangunan jangka menengah sebelumnya. Hal ini penting
untuk melihat seberapa jauh program-program yang ditawarkan itu benar-benar
menjadi solusi menghadapi persoalan ke depan.
Salah
satu pembahasan yang menarik adalah tentang kondisi saat ini dimana hukum masih
karut-marut dan belum bisa bersinergi dengan keadilan. Akibatnya, penegakan
hukum yang dilakukan hanya akan menegakkan ketidakadilan. Kondisi itu
diperburuk dengan mentalitas aparat penegakan hukum yang dinilai cenderung
kurang bagus.
Saya
turut mengamati sebagian besar jalannya debat capres-cawapres antara Jokowi-JK
dengan Prabowo-Hatta Rajasa. Sangat menarik dan cukup mendalam apa yang
disampaikan kedua belah pihak. Sebagai pemilih muda, saya sangat tergugah
dengan alur berpikir Jokowi. Dengan tegas,
beliau mengatakan bahwa Bhineka
Tunggal Ika sudah harga mati dan harus ditaati. Dengan prinsipnya, beliau lugas menjelaskan bahwa setiap
rencana-rencana yang disusun itu penting, tapi yang lebih terpenting adalah
melaksanakannya. Beliau menambahkan bahwa Indonesia perlu memperkuat manajemen
kontrol dan pengawasan.
Bukan
berati saya mengagung-agungkan sosok Jokowi, namun saya tersadar bahwa apa yang
diungkapkan dan digagas Jokowi adalah sesuatu hal yang mungkin terjadi untuk
membawa perubahan bangsa selama rakyat optimis untuk mengerjakan perubahan ini
bersama dengan pemimpinnya.
Dalam
pertemuan-pertemuan mata kuliah ekonomi politik, saya mempelajari bahwa dalam
teori pilihan publik, setiap aktor politik di sisi penawaran barang publik
memiliki kepentingan atau motivasi-motivasi (untuk ketenaran, peningkatan
kekayaan, prestige) untuk memaksimalkan utilitas. Masyarakat, di sisi
permintaan barang publik mengharapkan kesejahteraan dan terpenuhinya kebutuhan
akan barang publik. Dalam sistem demokrasi, proses voting (pemungutan suara)
menjembatani sisi penawaran dan permintaan. Artinya bahwa pemilihan umum
menjadi sarana penyediaan barang publik yang diminta oleh masyarakat. Namun
kenyataannya, terkadang proses voting tidak bisa menjembatani sisi permintaan
dan penawaran karena para birokrat memiliki kepentingan yang tidak sejalan dengan
keinginan masyarakat. Oleh karena itu, dalam menghadapi pemilu 9 Juli nantinya,
mari kita memberi ruang bagi ekonomi dan politik untuk bersatu, menyatukan
tujuan untuk kesejahteraan orang banyak.
Referensi:
“Kaji Dasar Visi dan Misi Capres”. Artikel,
dimuat Kompas, 9 Juni 2014.
No comments:
Post a Comment