"walaupun setiap orang bicara tentang
manfaat dan guna, aku bicara padamu tentang cinta dan keindahan dan aku terima
kau dalam keberadaanmu seperti kau terima daku"
-mandalawangi
pangrango, Soe Hok-Gie
ini kali
kedua, aku menikmati wisata gunung, Bromo. Kali ini dengan suasana,
orang-orang, dan cuaca yang sangat berbeda. Bedanya, tak lagi dengan keluarga,
hanya aku dan ayah dan teman seperkuliahannya. Penanjakan
dingin sekali, kabut menyergap dalam jarak pandang tak kurang 3 meter ini
karena memang bulan hujan. Sarung, topi, kaos kaki, jaket tak mampu melindungi
dari kedinginan yang menusuk-nusuk.
Aku teringat
seseorang, dia bilang "dingin jangan pernah ditolak, tapi dirasakan"
Ya, mungkin dia
benar dia salah. Aku duduk di bangku terdepan menghadap gugusan kabut Bromo.
Mencoba merasakan dingin sambil menikmati musik yang diputer kenceng anak-anak
reegee apa rasta apa apa ya (?). Uniknya mereka merasakan dingin dengan
bergoyang-goyang dan membuat lelucon sambil terbahak-bahak seakan dunia milik
ELO dan temen-temen ELO. Disampingku, 5 cowok sibuk kerubutan sarung sambil mengandai-andai cewe yang disukainya,
sesi curhat pria muda Haha KEPO deh gueeh!
Ada yang sibuk foto cekrak-cekrik, dari embak emas yang pake BB sampai
tukang foto yang bawaannya kamera DSLR pake tambahan apalah itu.
Sejauh ini,
dingin membuat otakku tidak bekerja maksimal. Aku tersirep dengan pertama,
bagaimana cara orang menikmati matahari, entah itu sendirian (sepertiku),
berduaan, atau sak rombongan. Mereka Bahagia tanpa dibuat-buat. Mengapa? sedini
hari, semengantuk dan sehina muka, selalu ada senyum merekah untuk dibagikan.
Kedua, bagaimana langit bertabur bintang tergantikan oleh semburat senja
orange, jingga dan kumpulan awan hitam yang berarak membuka wajah sang mentari,
burung-burung cantik dengan polosnya bernyanyi, pinus-pinus segar meneteskan
embun pagi, dan tampaklah di seberang sana Si genit aduhai Bromo bermakeup
kabut tebal seakan tak membiarkan orang-orang tau siapa dia yang sebenarnya.
Sampai pada suatu
turunan menuju HardTop, aku menyadari bahwa Gunung betul-betul memberi daya dan
pesona bagi penikmatnya untuk merasa lebih baik, merasa sembuh, merasa
diperhatikan, dan merasa dicintai. Dari setiap ekspresi manusia, tanpa disadari
betapa lelahnya mendaki ataupun dinginnya udara ketika melihat gunung mereka
dipuaskan.
Sama halnya, aku
menaiki hampir 234 anak tangga menuju kawah kepundan Bromo. Saat mengamati
wajah-wajah yang menuruni tangga, mereka rata-rata berbahagia dan menularkan
semangat pada kami yang masih berusaha menuju puncak. "Ayo mbak semangat
sedikit lagi, eman sudah setengah jalan". Iya. Aku semangat.
Semangat
dipuncak. Foto-foto. Say hi!. Bilang WOW kepada kawah, sambil diceritani ayah
bagaimana kerja keras warga Tengger saat upacara Besar Kasada untuk berebut
mengambil sesajen di sekitar kawah yang membahayakan. 5 menit kemudian, turun.
Inilah fenomena
manusia hari ini, sayapun demikian. Kenikmatan suatu perjalanan dilihat dari
betapa deliciousnya foto yang terabadikan, betapa cetar membahana status atau
tweet yang digaungkan (kalau ada sinyal tentunya..). Tapi bagaimana manusia berubah dari jaman
teropong sampai DSLR, dan ketika setiap orang melihat manfaat dan guna dari
sesuatu. Gunung tidak akan bosan memberikan keindahan sabda alamnya. Gunung tak
akan menipu kita. Sepulangnya, kita tahu bahwa ada perasaan untuk kembali,
bukan memanfaatkan tapi menikmati.
No comments:
Post a Comment