Monday, 28 January 2013

Bromo, sekali lagi..

 "walaupun setiap orang bicara tentang manfaat dan guna, aku bicara padamu tentang cinta dan keindahan dan aku terima kau dalam keberadaanmu seperti kau terima daku"
-mandalawangi pangrango, Soe Hok-Gie


 ini kali kedua, aku menikmati wisata gunung, Bromo. Kali ini dengan suasana, orang-orang, dan cuaca yang sangat berbeda. Bedanya, tak lagi dengan keluarga, hanya aku dan ayah dan teman seperkuliahannya. Penanjakan dingin sekali, kabut menyergap dalam jarak pandang tak kurang 3 meter ini karena memang bulan hujan. Sarung, topi, kaos kaki, jaket tak mampu melindungi dari kedinginan yang menusuk-nusuk.

Aku teringat seseorang, dia bilang "dingin jangan pernah ditolak, tapi dirasakan"

Ya, mungkin dia benar dia salah. Aku duduk di bangku terdepan menghadap gugusan kabut Bromo. Mencoba merasakan dingin sambil menikmati musik yang diputer kenceng anak-anak reegee apa rasta apa apa ya (?). Uniknya mereka merasakan dingin dengan bergoyang-goyang dan membuat lelucon sambil terbahak-bahak seakan dunia milik ELO dan temen-temen ELO. Disampingku, 5 cowok sibuk kerubutan sarung  sambil mengandai-andai cewe yang disukainya, sesi curhat pria muda Haha KEPO deh gueeh!  Ada yang sibuk foto cekrak-cekrik, dari embak emas yang pake BB sampai tukang foto yang bawaannya kamera DSLR pake tambahan apalah itu.

Sejauh ini, dingin membuat otakku tidak bekerja maksimal. Aku tersirep dengan pertama, bagaimana cara orang menikmati matahari, entah itu sendirian (sepertiku), berduaan, atau sak rombongan. Mereka Bahagia tanpa dibuat-buat. Mengapa? sedini hari, semengantuk dan sehina muka, selalu ada senyum merekah untuk dibagikan. Kedua, bagaimana langit bertabur bintang tergantikan oleh semburat senja orange, jingga dan kumpulan awan hitam yang berarak membuka wajah sang mentari, burung-burung cantik dengan polosnya bernyanyi, pinus-pinus segar meneteskan embun pagi, dan tampaklah di seberang sana Si genit aduhai Bromo bermakeup kabut tebal seakan tak membiarkan orang-orang tau siapa dia yang sebenarnya.

Sampai pada suatu turunan menuju HardTop, aku menyadari bahwa Gunung betul-betul memberi daya dan pesona bagi penikmatnya untuk merasa lebih baik, merasa sembuh, merasa diperhatikan, dan merasa dicintai. Dari setiap ekspresi manusia, tanpa disadari betapa lelahnya mendaki ataupun dinginnya udara ketika melihat gunung mereka dipuaskan.

Sama halnya, aku menaiki hampir 234 anak tangga menuju kawah kepundan Bromo. Saat mengamati wajah-wajah yang menuruni tangga, mereka rata-rata berbahagia dan menularkan semangat pada kami yang masih berusaha menuju puncak. "Ayo mbak semangat sedikit lagi, eman sudah setengah jalan". Iya. Aku semangat.






Semangat dipuncak. Foto-foto. Say hi!. Bilang WOW kepada kawah, sambil diceritani ayah bagaimana kerja keras warga Tengger saat upacara Besar Kasada untuk berebut mengambil sesajen di sekitar kawah yang membahayakan. 5 menit kemudian, turun.

Inilah fenomena manusia hari ini, sayapun demikian. Kenikmatan suatu perjalanan dilihat dari betapa deliciousnya foto yang terabadikan, betapa cetar membahana status atau tweet yang digaungkan (kalau ada sinyal tentunya..).  Tapi bagaimana manusia berubah dari jaman teropong sampai DSLR, dan ketika setiap orang melihat manfaat dan guna dari sesuatu. Gunung tidak akan bosan memberikan keindahan sabda alamnya. Gunung tak akan menipu kita. Sepulangnya, kita tahu bahwa ada perasaan untuk kembali, bukan memanfaatkan tapi menikmati. 

No comments:

Post a Comment