Monday 28 January 2013

Secuplik Sajak Gunung Gie

(Mengapa? ini puisi yang tulus tanpa tendensi, jujur, mengena kalau dibaca sekali kemudian diulangi lagi. Gie, aku ijin menuliskannya yaa..)

Mandalawangi - Pangrango

Senja ini, ketika matahari turun
ke dalam jurang jurang mu
aku datang kembali
ke dalam ribaanmu, dalam sepimu
dan dalam dinginmu

walaupun setiap orang berbicara
tentang manfaat dan guna
aku bicara padamu tentang cinta dan keindahan
dan aku terima kau dalam keberadaanmu
seperti kau terima daku

bait 3

bait 4

"Hidup adalah soal keberanian,
menghadapi yang tanda tanya
tanpa kita bisa mengerti, tanpa kita bisa menawar
terimalah dan hadapilah"

dan diantara ransel-ransel kosong
dan api unggun yang membara
aku terima itu semua
melampaui batas-batas hutanmu
melampaui batas-batas jurangmu
aku cinta padamu Pangrango
karena aku cinta pada keberanian hidup

Jakarta 19-7-1966, Soe Hok-Gie

camerado, KRIK !

[Gn. Bromo, 2012 | segar, menyenangkan, menyembuhkan]













[Gn. Bromo, 2013 | kabut tebal, tanda tanya, memikat]

[Menuju Kawah Kepundan, 250 anak tangga]

[konservasi alam dengan mini mini hard top]

















[cinta, yang tak perlu bergandeng erat cukup beriring jalan]

Gie, teman yang tidak akan pernah bertemu

Temanku, hari ini aku mau mengenalkanmu pada generasi social-holic yang dekat dengan jarak jauh tapi menjauh dengan yang disekitarnya. Aku tahu kamu sudah memprediksi akan timbulnya masa ini dimana kaum mudanya sangat akrab dengan dunia sosial yang dikelilingi wajah dan karakter baru namun seringkali melupakan senyuman untuk ayah ibu, sapaan kepada tetangga kanan-kiri. Inilah generasiku, Gie silahkan jabat tanganku.

bagaimana berbedanya kita,

kamu jurusan sejarah-UI yang gemar politik kampus tapi ndak paham sama bagaimana ekonomi bekerja sedangkan aku anak ekonomi bau kencur yang ga mau terlibat per-aktivis-an dunia kampus dan politik dan tujuannya.

temanmu itu dari tukang becak sampai rektor UI sedangkan aku berteman dengan FB, Twitter dan dunia sosial lainnya. Kamu punya passion dibidang menulis dan memberikan diri sebagai wartawan yang doyan kritik sana-sini tentang betapa tak menariknya orde lama dan baru sedangkan aku cenderung melankolis dan terbuai dengan pemerintah SBY jilid II, paramentri dan jutaan masalah yg mengganjal negri ini. ibaratnya kamu ini idealis untuk kesejahteraan rakyat sedangkan aku duduk tenang dalam menara gading dan tidak terlalu serius memikirkan politik hari ini.

tapi, Gie generasi sekarang juga memiliki kemajuan. kami tanggap akan segala hal ini dibuktikan kalau ada apa-apa di berita kami langsung cuuus berkicau atau masang status. Hebat kan (?) sebatas itu.
kalau kamu mah, langsung demo besar-besaran kalau ada yang menyangkut permasalahan rakyat.

sayangnya kamu pergi Gie, padahal aku berharap kalau kamu hidup lebih lama kamu dapat menyegarkan kami yang muda ini untuk terlibat aksi sosial bagi kepentingan rakyat. semoga setidaknya dengan membaca tulisan-tulisanmu aku bisa berbuat untuk negri ini, dari hal kecil sih macam niat kuliah nyerap ilmu ekonomi supaya nanti pas kerja bisa mempraktekkan ilmu demi orang-orang disekitar sukur-sukur bagi pembangunan Indonesia.


Buku ini HARUS kamu baca, gaees.. bagaimana Gie dicintai dan dikritik lewat tulisannya, bagaimana ia tidak sekadar lahir kemudian mati namun membekas sampai ke ulu hati para sobat atau bahkan yang belum bertatap muka dengannya, seperti aku. Buku ini #inspiring




Bromo, sekali lagi..

 "walaupun setiap orang bicara tentang manfaat dan guna, aku bicara padamu tentang cinta dan keindahan dan aku terima kau dalam keberadaanmu seperti kau terima daku"
-mandalawangi pangrango, Soe Hok-Gie


 ini kali kedua, aku menikmati wisata gunung, Bromo. Kali ini dengan suasana, orang-orang, dan cuaca yang sangat berbeda. Bedanya, tak lagi dengan keluarga, hanya aku dan ayah dan teman seperkuliahannya. Penanjakan dingin sekali, kabut menyergap dalam jarak pandang tak kurang 3 meter ini karena memang bulan hujan. Sarung, topi, kaos kaki, jaket tak mampu melindungi dari kedinginan yang menusuk-nusuk.

Aku teringat seseorang, dia bilang "dingin jangan pernah ditolak, tapi dirasakan"

Ya, mungkin dia benar dia salah. Aku duduk di bangku terdepan menghadap gugusan kabut Bromo. Mencoba merasakan dingin sambil menikmati musik yang diputer kenceng anak-anak reegee apa rasta apa apa ya (?). Uniknya mereka merasakan dingin dengan bergoyang-goyang dan membuat lelucon sambil terbahak-bahak seakan dunia milik ELO dan temen-temen ELO. Disampingku, 5 cowok sibuk kerubutan sarung  sambil mengandai-andai cewe yang disukainya, sesi curhat pria muda Haha KEPO deh gueeh!  Ada yang sibuk foto cekrak-cekrik, dari embak emas yang pake BB sampai tukang foto yang bawaannya kamera DSLR pake tambahan apalah itu.

Sejauh ini, dingin membuat otakku tidak bekerja maksimal. Aku tersirep dengan pertama, bagaimana cara orang menikmati matahari, entah itu sendirian (sepertiku), berduaan, atau sak rombongan. Mereka Bahagia tanpa dibuat-buat. Mengapa? sedini hari, semengantuk dan sehina muka, selalu ada senyum merekah untuk dibagikan. Kedua, bagaimana langit bertabur bintang tergantikan oleh semburat senja orange, jingga dan kumpulan awan hitam yang berarak membuka wajah sang mentari, burung-burung cantik dengan polosnya bernyanyi, pinus-pinus segar meneteskan embun pagi, dan tampaklah di seberang sana Si genit aduhai Bromo bermakeup kabut tebal seakan tak membiarkan orang-orang tau siapa dia yang sebenarnya.

Sampai pada suatu turunan menuju HardTop, aku menyadari bahwa Gunung betul-betul memberi daya dan pesona bagi penikmatnya untuk merasa lebih baik, merasa sembuh, merasa diperhatikan, dan merasa dicintai. Dari setiap ekspresi manusia, tanpa disadari betapa lelahnya mendaki ataupun dinginnya udara ketika melihat gunung mereka dipuaskan.

Sama halnya, aku menaiki hampir 234 anak tangga menuju kawah kepundan Bromo. Saat mengamati wajah-wajah yang menuruni tangga, mereka rata-rata berbahagia dan menularkan semangat pada kami yang masih berusaha menuju puncak. "Ayo mbak semangat sedikit lagi, eman sudah setengah jalan". Iya. Aku semangat.






Semangat dipuncak. Foto-foto. Say hi!. Bilang WOW kepada kawah, sambil diceritani ayah bagaimana kerja keras warga Tengger saat upacara Besar Kasada untuk berebut mengambil sesajen di sekitar kawah yang membahayakan. 5 menit kemudian, turun.

Inilah fenomena manusia hari ini, sayapun demikian. Kenikmatan suatu perjalanan dilihat dari betapa deliciousnya foto yang terabadikan, betapa cetar membahana status atau tweet yang digaungkan (kalau ada sinyal tentunya..).  Tapi bagaimana manusia berubah dari jaman teropong sampai DSLR, dan ketika setiap orang melihat manfaat dan guna dari sesuatu. Gunung tidak akan bosan memberikan keindahan sabda alamnya. Gunung tak akan menipu kita. Sepulangnya, kita tahu bahwa ada perasaan untuk kembali, bukan memanfaatkan tapi menikmati.