Monday 13 April 2015

Andre Novanda Prianputra

Dear Patner in Crime di Sorga,


Saya merindukanmu.
Saya ingin bercerita banyak hal tentang betapa ceria dan bahagianya anak-anak SMP 8 dan 16 saat Retreat kemarin. Kami menyanyi sama-sama lagu favoritmu
"Hidup tanpa Yesus seperti donat.. seperti donat.. ada bolong di tengah hatimu.."
Saya sudah tidur lebih baik sekarang, tidak ngempet nangis sendirian di kamar.
Saya juga senang sekali bersahabat dengan adek semata wayangmu yang manis, Tia.
Dan, kamu masih ingat Linda yang dulu kamu kenalkan karena dia butuh kelompok kecil. Sekarang kami bersama-sama.
Tapi saya belum ke Munjung lagi. Belum bertemu dengan anak-anak berpipi kemerahan yang pemalu itu atau bercerita dengan ibu-ibu muda disana. Saya juga tidak pernah melupakan kamu yang dengan entengnya bermain lompat tali bersama anak-anak kecil dengan tubuh kekarmu.
Saya tidak pernah melupakan tebenganmu karena seringnya saya pulang lewat jam 9 malam. Ibu tidak pernah kuatir karena kamu akan menemani dan mengantar saya pulang dengan selamat.
Saya masih ingat dengan candaanmu "Mbak, kalau tak gonceng nyanyi-nyanyi ya soalnya mbak kayak radio berjalan.."
Kamu yang sangat terbuka pada orang-orang tua dan bisa bertutur bahasa yang sopan.
Kamu yang makan dengan lahap apapun dan bagaimanapun rasa masakannya.
Kamu dengan hape lawas yang tidak bisa dibuat telpon tapi yang selalu siap sedia saat dihubungi.
Kamu yang selalu menyapa terlebih dahulu
Kamu yang juga peduli dengan hidup orang-orang diluar Kristus.
Saya merindukan passionmu untuk bisa mendorong saya tidak hidup meratap.
Saya akan selalu mengasihi Andre Novanda dengan belajar mendoakan mereka yang masih terus berjuang hidup tanpamu, mengasihi orang-orang yang bersentuhan denganmu, mengasihi orang-orang yang tidak dipedulikan, terus hidup dan memberi arti.

NB: Saya tidak menangis ketika menuliskan ini, Ndre..

Re

Saya hidup di Alice-in-Wonderland mind set yang dipenuhi dengan hari-hari bahagia dengan bunga bermekaran, hidup tanpa beban, bebas mengasihi dan dikasihi, pelukan hangat, kelembutan, dan tawa. Saya tidak pernah menyadari bahwa bunga-bunga itu akan layu dan mati, pelukan hangat tergantikan tikaman tajam, airmata kehilangan, tidak dikasihi balik, fisik yang lelah, kelelahan batin juga.

Demikianlah perasaan yang saya tahan selama berbulan-bulan. Mengerjakan banyak hal penting dan genting. Memperhatikan banyak orang dan mencurahkan emosi untuk menjawab apa yang dibutuhkan. Bertanya dan mendengarkan. Merasa berkobar-kobar kemudian perlahan mati sendiri gara-gara kepanasan. Membiarkan keraguan, kekecewaan, kepahitan menguar di udara. Sampai akhirnya saya berteriak dalam diam.

Saya butuh sesuatu yang lebih dari ini.

Saya butuh ditolong.

Saya ingin dipeluk.

Saya kesepian.

Saya membenci diri saya.

Saya sudah bosan menangis

Apa yang salah dengan saya? Saya lelah.

Ada relasi rusak yang saya acuhkan dan tanpa saya sadar ia tumbuh menjadi gunung es dalam hati.
Ada dosa-dosa yang tidak saya akui di hadapan Tuhan dan orang-orang terdekat.
Saya lelah karena berjuang mengasihi banyak orang yang pada akhirnya saya tidak sedang mengasihi siapapun.

Untuk dapat menulis, bernyanyi, tertawa lepas, mengamati lingkungan, memandang tanpa curiga saya sungguh-sungguh merindukan apa yang menjadi gairah hidup saya.

Melepaskan, memangkas, menolak, mengaku mungkin inilah yang dapat saya lakukan sekarang.
Melepaskan apa yang terlalu lama digenggam.
Memangkas relasi-relasi yang hanya sekadar ingin tahu.
Menolak melakukan kesibukan-kesibukan.
Mengakui bahwa saya butuh ditolong.