Tuesday, 19 February 2013

Parangtritis, Misteri Cinta dan Luka


Sabtu, 16 Februari 2013. 15.00 WIB, menuju Parangtritis.

Kontras dengan perjalanan menuju laut di jawa timur yang melewati jalan berkelok tanjakan naik turun, menuju pantai selatan ini relatif landai, tapi tetap kanan kiri gubuk dan sawah hijau menguning. Dalam perjalanan saya melihat hal menarik. Kala itu hujan gerimis dan cukup dingin, seorang bapak tua duduk diatas tumpukan pasir yang menggunung (benar-benar "menggunung") dalam bak truk bahkan ketinggian dari gundukan pasir yang diangkut truk ini setinggi pandangan mata kami yang berada di bis.



Biyuh, batinku bersuara.

 

Welcome, strangers! Don't wear too much Green (kepercayaannya, kamu bakal diambil sama Ratu Selatan)



Rasakan sensasi naik Bendi, dokar dengan kuda betina sebagai pengantar perjalanan laut kita. Debur ombak, cipratan air dan suara tapal kuda menyentuh pasir menorehkan pengalaman baru dalam kamus hidupku.



 Parangtritis yang penuh misteri ini adalah tempat dimana Sri Sultan Hamengku Buwono melakukan ritual perjumpaan dengan Nyi Roro Kidul, sedang tak jauh dari Parangtritis ada Parangkusumo, tempat Jupe laris diberitakan infotemen melakukan ritual kecantikannya or whatever!

"Parang niku Karang, biyen ing karang niki warga dodolan banyu klopo digawe ngidupi anak-bojo saking angel e urip" kata bapak Tukang Bendi. Dulu, sebelum Parangtritis terkenal, betapa sulitnya hidup warga laut ini sampai-sampai sebuah kelapa muda berharga me-makan-i sebuah keluarga.

Trenyuh..

Kami melewati parangtritis lama, disebut lama karena dulu ketika gempa bumi 2008 melanda Bantul dengan episentrum gempa di lautan parangtritis, menewaskan banyak warganya dan mematikan kehidupan perekonomiannya. Pemerintah memutuskan lokasinya dipindah ke parangtritis baru, beberapa km dari parangtritis lama. Mungkin agar tidak mengingat kembali luka lama, tanpa melupakan sosok-sosok yang dicintai yang terseret kemurkaan lautan.


Duka kembali berlanjut dalam perjalanan ceria ini, kami bertemu nenek berusia kurang lebih 70 an yang nggeleyeh di sebelah sumur sembari menawarkan air untuk cuci kaki. Anehnya lokasi sumur ini tepat di tengah jalan. Kami merasakan keanehan, mengapa tidak ia membuka persewaan kamar mandi saja, daripada hanya dilewati orang yang tak tertarik untuk hanya sekadar cuci kaki.

"Mbah, kenapa kok berdiri disini?"
"iki dhisik omahku, nduk. Aku digusur, kate mangan opo awakku yen ora bertahan koyo ngene..
Biyuh.. Biyuh sorone urip "

Kami speechless karena ternyata dulu jalan ini merupakan rumah si Mbah yang kemudian digusur dan mbah hanya bertahan untuk menjual air dari sumur yang dimilikinya untuk cuci kaki dan cuci muka wisatawan sehabis pantai."

Betapa trenyuhnya kami, ada buanyaak kamar mandi yang ada, si Mbah mungkin tidak akan dapat bertahan hanya dengan menjual jasa cuci muka dan kaki. Ketika kami mengerti penderitaannya, kami segera "membeli jasanya", aku cuci kaki dan ayah cuci muka.

Segelintir emosi sedih diantara puluhan kebahagiaan yang aku rasakan di Jogja. Ya, setiap orang punya nasib berbeda, si Mbah, Aku, Bapak Tukang Bendi, Oma Belanda yang menikmati sore di Parangtritis, Jupe dan lainnya. Saya beruntung, Mbah.. 

"Syukuri hidupmu dan mereka yang menopangmu, karena hidup memberikan biliaran rasa cinta lewat setiap kejadian yang kita atau mereka alami"

2 comments: